0

Franco Di Santo, Si Crespo Kecil Akhirnya Jawab Ekspektasi

Senin, 16 Maret 2015
Share this Article on :
Fakta bahwa Mohamed Salah bersinar lebih terang ketimbang Juan Cuadrado nyaris pasti meninggalkan penyesalan bagi Chelsea dan fansnya.

Merogoh kocek £23,3 juta plus memberikan servis Salah dengan status pinjaman ke Fiorentina demi mengakuisisi Cuadrado, Blues sejauh ini belum melihat potensi penuh sang bintang Kolombia di Stamford Bridge. Ini berbeda 180 derajat dengan situasi Salah, yang berhasil merekah di Florence.

Perasaan yang sama mungkin juga menghinggapi The Blues kalau mereka melayangkan pandangan ke Bundesliga. Khusus statistik pasca-winterpause, tiga dari empat topskor di Liga Jerman semuanya berstatus eks pemain Chelsea.

Arjen Robben paling produktif dengan tujuh gol, disusul Franco Di Santo yang membukukan enam gol, dan Kevin de Bruyne dengan torehan lima gol. Anda tidak salah membaca nama kedua. Dialah Franco Di Santo, yang gagal menjebol gawang lawan barang sekali pun selama merumput di London.
 
Butuh waktu lama, namun striker Argentina itu akhirnya sukses mengibarkan namanya di Benua Biru. Saat ini Di Santo menjadi salah satu properti terhangat di Negeri Tembok Berlin setelah menyumbangkan selusin gol dalam 17 partai liga untuk Werder Bremen.

Hal yang sulit terbayangkan sebelumnya mengingat ia tak dapat dikategorikan sukses di Liga Primer Inggris. Selain Chelsea, Di Santo juga bermain untuk Blackburn Rovers dan Wigan Athletic. Ia baru tampil baik di klub yang disebut terakhir, namun itu pun tidak terlalu spesial.

Padahal ekspektasi yang mengiringi kedatangannya ke Negeri Big Ben terbilang tinggi. Ricardo Carvalho menjulukinya Crespito alias Crespo Kecil. Alasan di balik pemberian nickname itu sudah jelas. Di Santo dianggap berpotensi menjadi penerus Hernan Crespo, eks striker Blues yang juga berasal dari Argentina. Semakin klop karena yang bersangkutan memang mengidolakan Crespo.

Kendati lahir di Negeri Tango, Di Santo, uniknya, belum pernah merumput di kampung halamannya. Merintis karier dengan klub Cili, Audax Italiano, talenta Di Santo memikat Chelsea, yang membelinya seharga £3,4 juta pada Januari 2008.

Pertama dimasukkan ke skuat reserve, penampilan Di Santo tampak sangat menjanjikan dengan kontribusi 12 gol dalam delapan laga musim 2007/08. Namun keadaan tak berbanding lurus dengan di tim utama. Selama berkostum Biru, Di Santo cuma beraksi 16 kali di semua ajang, kebanyakan sebagai pemain cadangan, tanpa bisa mencetak gol.

"Saya harus realistis, saya bersaing memperebutkan tempat dengan [Didier] Drogba, [Nicolas] Anelka, [Andriy] Shevchenko, [Claudio] Pizarro, dan [Salomon] Kalou dan saat itu mereka mungkin lebih baik dari saya. Waktu terbanyak yang saya dapatkan adalah 45 menit melawan Aston Villa ketika Anelka cedera," kenang Di Santo.


Gagal total di Chelsea tanpa pernah mencetak gol.

Ia sempat dipinjam Blackburn Rovers pada 2009/10, namun lagi-lagi sangat seret dalam produksi gol. Hanya satu ia sarangkan dalam 24 laga dengan The Rovers.

"Saya memainkan setiap laga selama setengah musim dan tampil sangat baik tapi tidak mencetak gol, itulah masalah besar saya. Saya memutuskan bertahan enam bulan lagi tapi manajer Sam Allardyce tak lagi memainkan saya. Situasi itu aneh, dari luar biasa menjadi sangat sulit. Tetapi saya mencetak satu gol dan assist dalam derby lokal kami melawan Burnley dan mereka membuat DVD pertandingan dengan wajah saya di kovernya!" tutur Di Santo.

Keadaan membaik untuk Di Santo setelah ia bergabung ke Wigan Athletic dari Chelsea dengan nilai £2 juta. Kepercayaan dirinya meningkat di bawah komando Roberto Martinez, tapi, sekali lagi, dalam urusan menjebol gawang lawan torehannya tetap minim. Tiga musim di DW Stadium, berturut-turut Di Santo hanya mengemas satu, tujuh, dan lima gol. Terlepas dari itu, performanya cukup mengesankan untuk membuahkan tiga laga internasional dengan Argentina.

Akhir periode Di Santo dengan The Latics indah sekaligus pahit. Klub sukses menjuarai Piala FA 2013, namun Di Santo hanya berstatus cadangan tak terpakai dalam final menghadapi Manchester City. Kontraknya juga tak diperpanjang menyusul terdegradasinya klub ke Divisi Championship pada waktu yang sama.

Sang bomber kemudian mengadu nasib ke Jerman untuk membela Werder Bremen, momen yang ternyata bakal menjadi titik balik dalam kariernya. Pada musim perdana di Weserstadion Di Santo cuma memproduksi empat gol, namun di sisi lain ia juga membuat empat assist serta mengkreasi 17 peluang.

Sebagai seorang ujung tombak, tak jarang Di Santo menunjukkan aksi yang hanya bisa dilihat dari playmaker atau pemain No. 10 dengan skill olah bola istimewa dan umpan-umpan manja untuk rekan setim.

Ketajaman Di Santo akhirnya melonjak drastis pada kampanye terkini, khususnya selepas pergantian tahun. Dalam enam laga pada 2015, Di Santo telah membukukan enam gol dan hanya sekali absen masuk papan skor, yaitu ketika Bremen bermain seri 1-1 dengan tuan rumah Schalke 04 bulan lalu.

Mustahil mengenyampingkan peran besarnya dari kebangkitan Bremen, yang pernah terdampar di dasar klasemen dan kini bercokol di posisi kedelapan dengan jarak hanya lima poin dari zona Eropa.

Gol-golnya banyak yang tercipta secara istimewa. Setidaknya sudah tiga kali ia memenangi Gol Terbaik Pekan Ini di situs resmi Bundesliga, termasuk gol sepakan melengkungnya yang keren ke gawang SC Freiburg dalam kemenangan 1-0 Bremen minggu lalu.



Mereka yang nyinyir barangkali langsung berkesimpulan Di Santo dapat bersinar di Bundesliga lantaran kurang kompetitif dibandingkan EPL. Well, si pemain sendiri ternyata sempat beranggapan begitu sebelum menjajal sendiri Bundesliga.

"Saat pertama datang ke Jerman, saya pikir di sini akan kurang intens daripada Liga Primer. Tapi ketika saya datang ke sini dan merasakan intensitasnya, 'Wow'. Segalanya cepat seperti halnya di Inggris tapi terkadang saya merasakan adanya tekanan lebih di sini. Di Liga Inggris, Anda memiliki waktu untuk berputar dan saling berhadap-hadapan dengan bek, tapi di sini selalu tekanan, tekanan, tekanan," beber Di Santo.

Pemain 25 tahun ini juga menyebut latihan di Jerman lebih keras, namun itu menjadikan kondisi fisiknya semakin prima.

"Hal lain yang berbeda adalah tipe latihannya. Di sini kami berlatih dua kali sehari, dua atau tiga kali seminggu. Itu sulit bagi saya yang datang dari sepakbola Inggris, di mana Anda terkadang memiliki dua hari libur dalam sepekan."

"Di sini mustahil melakukan itu. Mungkin Anda memiliki libur satu hari setiap dua pekan. Filosofinya amat berbeda. Di Inggris, mereka pikir tubuh Anda butuh istirahat agar fit untuk pertandingan, agar bisa mencapai kondisi bagus. Di sini sebaliknya, Anda harus berlatih lebih."

"Kadangkala ini terasa terlalu berat tapi Anda jadi merasa lebih kuat dalam momen-momen kunci karena Anda berlatih, berlatih. Saat di Inggris saya akan sedikit lebih lelah dalam 10 menit terakhir. Di sini saya merasa baik, jadi mungkin untuk tubuh saya berlatih itu lebih baik!"

Die Werderaner akan sangat merasakan kehilangan sosok Di Santo saat menjamu Bayern Munich dalam lanjutan liga malam ini. Kartu kuning kontra Freiburg menghadirkan suspensi baginya untuk pertandingan ini.

Namun, lubang besar itu justru semakin tegas menunjukkan bahwa Di Santo, akhirnya, telah memenuhi ekspektasi untuk menyandang julukan Crespito, Si Crespo Kecil.




Sumber : Goal.com
 
 


Artikel Terkait:

0 komentar: